Gasing "Lancang Kuning" dan Ujang
Oleh: Sri Rama Yanti
Di Kampung Rawang Kao Bara kecamatan Lubuk Dalam kabupaten Siak, suasana meriah menyambut HUT RI 80 sudah didepan mata. Tepat nantinya di tanggal 17 Agustus 2025 Festival Gasing Barembang diresmikan, tradisi yang sudah turun-temurun mengajarkan ketelitian dan kesabaran. Semua menanti juara yang gasingnya bisa berputar paling lama.
Gasing bukan mainan biasa di sini. Gasing adalah hasil karya seni. Ujang sudah berbulan-bulan membuatnya. Ia harus masuk hutan bersama Ayah untuk mencari Kayu Kulim, kayu yang keras dan terkenal paling seimbang untuk gasing.
"Ayah, kenapa kita tidak beli saja kayu di pasar?" tanya Ujang saat memanggul kayu Kulim.
Ayah tersenyum. "Gasing yang hebat itu punya jiwa, Jang. Dan jiwa itu datang dari kita sendiri yang mencarinya di hutan. Kayu Kulim ini sudah berjanji pada alam, sekarang ia akan berjanji padamu."
Selain kayu, tali gasingnya juga istimewa. Tali itu dibuat dari kulit pohon Melinjo yang dikeringkan dan dianyam Ayah hingga kuat dan mulur.
Setelah kayu didapatkan, Ujang dibantu Ayahnya menghabiskan banyak waktu untuk membuat dan mengukirnya dengan pisau kecil. Ia harus memastikan gasing itu benar-benar seimbang agar bisa berputar lama. Setelah gasing siap Ujang mengukir sendiri dengan susah payah, di bawah bimbingan ayahnya tulisan "LK" kecil di sisi bawah, dan gasing itu namai "Lancang Kuning". Ayah juga membuat dua gasing cadangan dengan kayu yang sama, bentuknya mirip, tetapi tanpa ukiran khusus itu.
Ayah Ujang, seorang mantan juara gasing desa 3 tahun berturut-turut. Sambil memegang pundak Ujang, ayah berkata “ Gasing yang seimbang mencerminkan hati yang tenang, Jang.”
------------------------
Hari perlombaanpun tiba. Tibahlah waktunya Festival Gasing Barembang di Gelanggang Gasing Antan-Antan Ma'du. Gelanggang sudah dipenuhi sorak-sorai. Giliran Ujang sebentar lagi. Ayahnya berbisik, "Kita sudah berlatih berbulan-bulan. Tunjukkan keahlianmu. Juara tahun ini akan mendapat hadiah untuk membeli buku-buku sekolahmu."
Lomba dimulai. Suara hentakan gasing dan sorakan penonton memecah suasana. Jantung Ujang berdebar kencang. Ia merogoh tasnya untuk mengambil Lancang Kuning.
Kosong!
Wajah Ujang langsung pucat. Ia mengaduk-aduk tas kanvasnya. Gasing itu benar-benar hilang!
"Yah! Gasingku hilang!" bisik Ujang panik, matanya berkaca-kaca.
Ayah Ujang ikut terkejut, namun berusaha tenang. "Jangan panik, Jang. Coba ingat, terakhir kau letakkan di mana?"
Ujang mulai mencari-cari gasingnya dengan uring-uringan. Di bawah meja juri, di balik rimbunan pohon beringin tempat mereka berlatih, bahkan di gerobak penjual es. Lomba sudah memasuki putaran akhir. Giliran Ujang dipanggil tinggal dua nama lagi.
"Tidak ada, Yah! Lancang Kuning hilang!" air mata Ujang mulai tumpah. Semua kerja kerasnya berjam-jam mengukir, menyeimbangkan, dan mengasah, musnah. Ia merasa tidak hanya kehilangan gasing, tetapi juga harapan dan kepercayaan ayahnya.
Tepat ketika nama Ujang akan dipanggil, keributan pecah. Semua mata tertuju ke sudut arena. Dua anak remaja, Ajo dan Bidin, sedang tarik-menarik satu benda sambil berteriak.
"Itu gasingku! Aku yang menemukannya!" teriak Ajo.
"Bukan! Aku yang memungutnya lebih dulu! Itu gasing milikku!" balas Bidin tak mau kalah.
Pertandingan terhenti. Juri dan panitia melerai. Ujang, didorong oleh naluri, spontan menuju ke kerumunan bersama Ayahnya. Ia melihat benda yang mereka rebutkan. Ujang dan Ayah mendekat, dan benar saja benda yang mereka perebutkan adalah gasing kayu Kulim. Bentuknya sama seperti Lancang Kuning.
Itu dia! Kata Ujang. Gasing kayu Kulim yang mengilap. Ada sedikit goresan di sisi, gasing itu jelas miliknya.
"Itu... itu Lancang Kuning!" teriak Ujang, lalu ia meraih gasing yang diperebutkan Ajo dan Bidin.
Ajo dan Bidin serentak menoleh. "Siapa bilang itu punyamu? Aku yang menemukannya!" bentak Ajo, menarik gasing itu kembali.
"Bukan! Ujang mati-matian mempertahankan gasing itu.
Lihat ukirannya! "Aku yang membuatnya, ada ukiran khusus!" balas Ujang sambil mencoba meraba ukiran "LK" miliknya.
"Bukan! Kau jangan mencuri gasingku!" bentak Bidin, tangannya kuat menarik balik gasing itu. Tiga orang berebut satu gasing di tengah lingkaran arena. Kekacauan memuncak. Ayah Ujang berusaha menengahi, sementara para penonton kebingungan.
Di tengah kericuhan itu, seorang ibu muda dengan wajah lembut muncul. Ia menuntun anaknya yang masih berusia empat tahun. Anak kecil itu memegang sesuatu di kedua tangannya.
"Permisi... Maaf mengganggu," kata Ibu itu dengan suara tenang. "Anak saya menemukan dua gasing ini di dekat rimbunan rumput di pinggir jalan tadi. Mungkin ini milik kalian?"
Semua mata tertuju pada dua gasing di tangan anak kecil itu. Mereka semua, termasuk Ajo, Bidin, Ujang, dan Ayahnya, terdiam. Dua gasing yang dibawa anak kecil itu itu persis seperti Lancang Kuning. Mereka sama-sama terbuat dari kayu Kulim, bentuknya sama persis.
Ujang menatap gasing yang baru ia rebut. Lalu ia melihat dua gasing di tangan anak kecil itu. Ia teringat. Sehari sebelum lomba, Ayahnya memang sengaja membuat dua gasing cadangan jika Lancang Kuning utama retak saat diputar.
"Ya Tuhan!" Ujang terkejut. Gasing andalannya, Lancang Kuning dengan ukiran 'LK' di sisinya, ada di tangan anak kecil itu! Rupanya, dalam kepanikannya, ia tidak sengaja menjatuhkan gasing andalan, tetapi malah gasing cadangan yang hiang dalam tas yang ia cari.
Lebih mengejutkan lagi, Bidinlah yang mengambil gasing cadangan di tas Ujang .Bidin tertunduk malu dan hanya diam membisu.Sementara Ajo merasa bersalah karena mengaku ngaku gasing yang direbutkannya dengan Bidin adalah miliknya. Ajo terpaksa melakukannya karena ia ingin ikut lomba gasing, tapi ia tidak memilki gasing.
Semua kembali hening. Gasing Lancang Kuning yang hilang sesungguhnya bukan ditangan Ajo dan Bidin. Ajo dan Bidin yang terdiam semakin tertunduk malu.
Ujang mengambil gasing dari tangan anak kecil itu. "Terima kasih, Bu," katanya lega. Ia lalu mengamati gasing yang ia rebut dari Ajo dan Bidin dan dua gasing dari anak itu.
Tiba-tiba, mata Ujang tertuju pada salah satu gasing cadangan. Ia membaliknya, dan benar saja, di salah satu gasing itu terdapat goresan yang lebih tipis, ukiran kecil bertuliskan "LK", sebuah tanda rahasia yang hanya ia dan Ayahnya tahu, bukan di bagian bawah, tapi di sisi gasing. Ternyata gasing yang dibawa ibu dan anaknya adalah yang asli.
Ujang mendapatkan Lancang Kuningnya kembali. Ia memeluknya erat, air mata haru bercampur lega.
"Ini gasingmu," kata Ujang, menyerahkan gasing cadangan kepada Ajo agar dia bisa ikut lomba gasing ini. Ajo terharu dan meminta maaf kepada Ujang
Lalu, Ujang menatap Bidin yang menunduk malu. "Dan ini gasing yang tadi kau ambil," kata Ujang pelan, menyerahkan gasing cadangan yang Bidin curi. "Ambillah. Kau tidak akan juara dengan mencuri. Tapi kau bisa belajar membuat yang lebih baik."
Bidin terkejut. Ia menangis dan meminta maaf kepada Ujang.
___________
"Ujang! Giliranmu!" seru juri.
Dengan hati yang tenang dan lega, Ujang maju. Ia melilitkan tali kulit pohon Melinjo di Lancang Kuning, lalu menariknya kuat.
Ujang maju ke tengah arena, hati yang tadinya panik kini kembali tenang, seimbang, seperti filosofi gasing ayahnya. Dengan sekali tarikan kuat dan seimbang, ia melempar Lancang Kuning.
Wiiiiing!
Gasing itu berputar sempurna, stabil, dan anggun. Ia terus berputar, melampaui semua peserta sebelumnya. Hampir tiga menit.
Ujang menang! Ia mendapatkan hadiah buku sekolahnya. Tetapi, ia tahu kemenangan terbesarnya hari itu adalah ketika ia memilih memaafkan dan memberikan gasing cadangan itu. Semua ini adalah pelajaran dari gasing Lancang Kuning. Ia tidak hanya memenangkan lomba, tetapi juga belajar tentang arti kesabaran dan kejujuran.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar