Senin, 29 September 2025

Cerpen Anak "Arti Sebuah Dino"

Arti Sebuah Dino

Oleh Sri Rama Yanti

Kiki adalah seorang bocah yang berumur 10 tahun dan penjaga paling setia dari Dino, boneka dinosaurus hijau yang sudah lusuh. Dino bukan hanya sekadar mainan bagi Kiki, ia adalah pemberian hadiah ulang tahun dari almarhum kakek, simbol cinta dan kenangan yang selalu menemani Kiki dimanapun berada. Minggu sore itu, Kiki bersama keluarganya berangkat dari Pekanbaru menuju Kabupaten Kuantan Singingi untuk menonton Festival Pacu Jalur Tepian Narosa

“Ibu, pasti seru acara final pacu jalur  di Tepian Narosakata Kiki. “Betul Kiki, apalagi Pacu Jalur saat ini viral” sambut Ibu kiki. Mereka asyik berbincang selama perjalanan. 

Tepat siang hari Kiki sampai diacara Pacu Jalur. Ribuan penonton dari berbagai pelosok memadati tepian sungai.Tepian Narosa Teluk Kuantan gemuruh. Ribuan orang memadati tepiannya, semuanya berteriak menyemangati jalur kesayangan. Kiki berdesakan di tengah keramaian bersama Ibunya, Dino dipegang erat di tangannya.

“Ayo, Kiki kita duduk di tribun utama itu” sambil telunjuk Ibu mengarah disuatu tempat. 

Merekapun berjalan berdesakan ditengah keramaian menuju tribun yang dituju. Kiki akhirnya duduk disamping ibu muda yang menggendong anak berumur 2 tahun. Tiba-tiba anak kecil kecil itu menunjuk-nunjuk Dino milik Kiki sambil merengek rengek. Ibu muda kesulitan menenangkan anaknya. 

“Bunda, au...au itu”ucap sianak kecil yang belum lancar berbicara itu sambil menunjuk Dino ditangan Kiki. Dia meraung raung sekuat-kuatnya sehingga ibu muda itu kesulitan untuk menenangkannya. Hati Kiki yang lembut luluh. Ia meminjamkan Dino kesayangannya pada anak itu.

Anak manis, coba lihat Dino. Mau pinjam sebentar?" tanya Kiki, hatinya yang lembut tidak tega melihat si anak menangis.

Ibu muda itu tampak lega. "Terima kasih, Nak! Janji sebentar saja ya, Dek," katanya kepada anaknya.

Si anak langsung terdiam, memeluk Dino erat-erat. Kiki senang bisa membantu. "Ayo, nak, kita beli air minum dulu. Panas sekali," ajak Ibu Kiki. Kiki mengangguk dan berpesan kepada Ibu anak itu, "Saya dan Ibu beli minum di sana ya, Tante. Jangan pergi jauh-jauh!"

Namun, yang terjadi selanjutnya adalah kekacauan. Tribun yang mereka tempati harus dikosongkan untuk tamu dari pejabat dan semua pengunjung berhamburan keluar tribun. 

Saat Kiki kembali, mereka tidak menemukan tante dan anaknya itu. Ibu dan anak kecil yang memegang Dino sudah hilang tanpa jejak.

Jantung Kiki berdetak kencang. "Bu! Mereka... mereka tidak ada!". Kiki dan Ibunya panik. Mereka mendorong kerumunan, mencari sosok ibu muda dan anak kecil itu. Mustahil! Di tengah padatnya penonton Pacu Jalur yang bergerak, mencari dua orang asing seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Air mata Kiki tak terbendung. Ia bukan hanya sedih karena kehilangan Dino, tapi juga merasa bersalah karena meminjamkannya kepada orang yang tidak dikenalnya.

"Dino... itu boneka dari Kakek, Bu!" isaknya. "Aku harus menemukannya!"

Ibu Kiki yang sigap langsung menggandengnya. "Tenang, Nak. Kita cari bantuan." Mereka berdua berjalan cepat menuju bagian informasi yang terletak di dekat panggung utama. Ibu menjelaskan kejadian itu kepada petugas yang bertugas.

Tak lama kemudian, sebuah suara terdengar dari pengeras suara yang menggelegar di sepanjang tepian sungai.

"PERHATIAN! Bagi seorang Ibu dengan anak kecil laki-laki memegang boneka dinosaurus berwarna hijau lusuh, dimohon segera menuju bagian Informasi. Boneka tersebut sangat berharga bagi pemiliknya, Saudara Kiki."kata petugas dengan lantang.

Kiki berdiri gelisah di samping Ibunya. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Pengumuman itu diulang berkali-kali, tapi tidak ada yang datang.

"Bagaimana kalau mereka sudah pulang, Bu? Bagaimana kalau Dino dibawa jauh?" Tiba-tiba, kebahagiaan Festival Pacu Jalur  itu terasa pahit. "Kita tidak akan menyerah, Sayang," kata Ibu Kiki, memeluknya. "Kita sudah berusaha. sekarang, kita doakan Dino bertemu dengan orang yang baik."

 “Ibu...mana Dino Kiki” ucap Kiki sambil menangis.

Setelah 1 jam berlalu, Kiki dan ibunya memutuskan untuk pergi. Gemuruh sorakan penonton yang bersemangat menyaksikan jalur Tuah Datuak Keramat Imbang memimpin di lintasan terasa mengejek kesedihan Kiki. Sebelum meninggalkan bagian informasi, Ibu Kiki sempat meninggalkan nomor telepon-nya kepada petugas.

Mereka berjalan gontai menuju parkiran. Tepat ketika Kiki menunduk memandangi tangannya yang kosong, ponsel Ibu Kiki berdering nyaring. Panggilan masuk dari nomor asing.

Wajah Ibu Kiki berubah tegang, lalu terkejut, dan akhirnya lega. "Alhamdulillah! Mereka menelepon, Ki! Mereka sedang di bagian Informasi! Ternyata tadi mereka harus segera naik perahu penyeberangan dan tidak sempat menunggu kita kembali. Mereka sudah mencari kita!" seru Ibu Kiki.

Ternyata, setelah kembali ke seberang sungai, Ibu muda itu merasa tidak enak hati karena memegang barang berharga milik orang lain. Ia kembali ke bagian informasi namun Kiki dan ibunya sudah pergi. Beruntung, ia bertemu petugas yang telah menyimpan kontak Ibu Kiki.

Kiki dan Ibunya bergegas menuju Tribun Utama, tempat yang disepakati sebagai titik temu. Di sana, mereka melihat ibu muda itu bersama anaknya.

Ibu muda itu langsung mendekat. "Syukurlah kalian datang! Kami sungguh minta maaf. Kami harus buru-buru menyeberang dan tidak sempat mencari kalian," katanya dengan nada menyesal.

Kiki menatap anak kecil itu dengan antusias. Ia mencari Dino, boneka kesayangannya. Namun, ia terdiam. Tangan kecil anak itu kosong.

"Dino... mana, Dek?" tanya Kiki, suaranya tercekat.

Ibu muda itu terkejut. "Astaga! Tadi dia masih memeganginya! Mungkin jatuh lagi di sekitar sini saat kami menunggu."

Jantung Kiki mencelos. Setelah perjuangan panjang, Dino hilang lagi? Kali ini, Kiki menangis sejadi-jadinya sambil berlutut. Kemudian Ia melihat ke bawah bangku, menyentuh rumput di sekelilingnya, dan memeriksa pot bunga besar di dekatnya. Nihil.

Ibu Kiki, Ibu anak kecil itu dan petugas yang ikut menemani mereka ikut mencari dengan panik.

"Lihat sekeliling saja, Nak. Siapa tahu terselip," kata Ibu Kiki.

Mata Kiki kemudian melihat sesuatu yaitu tong sampah yang dilapisi plastik besar berwarna hitam  yang penuh dan tutupnya sedikit terbuka, terletak tak jauh dari bangku. Tong sampah itu baru saja digunakan oleh seorang pengunjung yang membuang sisa kotak makanan.

Kiki berpikir cepat. Anak kecil itu mungkin mengira Dino sudah tidak penting dan membuangnya saat sang Ibu lengah. Atau, anak itu mungkin hanya menjatuhkannya, dan petugas kebersihan mengira itu sampah.

Dengan hati berdebar, Kiki berjalan menuju tong sampah. Ia ragu, takut, dan jijik, tetapi ia harus melakukannya. Ia menarik tutup tong sampah itu dengan susah payah.

Kiki menjinjitkan kakinya, mencondongkan badan, dan menyisir tumpukan plastik, kertas minyak, dan botol bekas di lapisan teratas.

Tiba-tiba, di antara bungkus nasi yang kusut, Kiki melihat warna hijau lusuh yang sangat ia kenali!

"DINO ……!"

Kiki menjangkau masuk, mengabaikan bau tak sedap, dan menarik keluar boneka dinosaurus kesayangannya. Dino basah dan sedikit kotor, tapi utuh.

Kiki memeluk Dino erat-erat. Air mata yang tadi tertahan akhirnya tumpah, namun kali ini air mata lega dan bahagia. Semua orang di sekelilingnya terdiam, terkejut melihat penemuan itu.

"Ya Tuhan, Nak! Maafkan anak saya. Sungguh tidak sopan," kata Ibu muda itu, merasa sangat bersalah.

Kiki menggeleng. Ia menyeka air matanya dan memeluk Dino yang bau. "Tidak apa-apa, Tante. Aku senang dia kembali. 

Sore itu, Kiki membawa Dino pulang kembali dengan perasaan bahagia ditambah lagi jalur idola Kiki  yaitu Bintang Emas Cahaya Intan menjadi pemenang pada Festival Pacu Jalur Tepian Narosa 2025.


Minggu, 21 September 2025

Cerpen Udin, Sang Penjaga Balimau Kasai

Udin, Sang Penjaga Balimau Kasai

Oleh: Sri Rama Yanti

Disebuah desa terpencil dekat tepian sungai Kampar hiduplah seorang anak laki-laki yang tinggal bersama kakeknya yang sangat sepuh. Anak itu bernama Udin. Udin adalah seorang  anak yang berumur empat belas tahun dengan perawakan kurus, berkulit hitam dan memilki semangat yang tak kenal lelah. Udin sudah lama menjadi anak yatim piatu . Udin sangat mencintai kampungnya dan kondisi alam tempat tinggalnya.

Seperti biasanya setiap pagi Udin mandi di sungai Kampar. Ketika mandi, Udin merasa ada yang salah dengan Sungai Kampar. Sungai yang selama ini menjadi nadi desa mereka, kini mulai berubah. Bau amis yang aneh tercium, dan buih-buih putih tebal mengambang di permukaan air, tersangkut di antara batang-batang pohon. Ini adalah bencana, apalagi bagi Udin yang sangat menantikan tradisi Balimau Kasai. Balimau Kasai adalah tradisi unik yang diwariskan secara turun-temurun, mandi dengan air dari sungai Kampar yang dicampur dengan perasan jeruk dicampur dengan ramuan tradisional seperti beras,kunyit dan bunga bunga. Tradisi ini dilakukan satu hari sebelum datangnya bulan suci Ramadan.

Sejak enam bulan lalu, suasana desa mereka memang sudah tidak seperti dulu lagi semenjak tuan Riko datang kedesa mereka. Tuan Riko, seorang pengusaha kaya raya dari kota datang dan membeli lahan di hulu sungai. "Kami akan membangun pabrik pengolahan kelapa sawit di sini," katanya di hadapan seluruh warga. "Akan ada banyak pekerjaan, desa ini akan maju!" tambahnya lagi.

Sebagian besar warga terlena. Mereka tergiur dengan melihat uang yang banyak dan janji-janji manis yang diucapkan tuan Riko. Hanya segelintir orang yang ragu, termasuk Kakek Udin, seorang tetua adat yang sangat dihormati. "Hati-hati, rezeki tidak akan berkah jika datang dari sungai yang ternoda," Ucap kakek dengan nada pelan namun tegas.

Hari Balimau Kasai semakin dekat,  kecemasan Udin semakin memuncak. Seminggu yang lalu, ia melihat sebuah pipa besar tersembunyi di balik semak-semak, mengalirkan cairan keruh dan berbau busuk ke sungai. Itu pasti dari pabrik Tuan Riko.

Udin berlari sekuat tenaga menemui Kakek. "Kakek, ini gawat! Sungai kita diracuni!" katanya dengan nafas terengah-engah.

Kakek hanya menghela nafas panjang sambil berkata "Sudah Kakek duga. Tapi, banyak orang yang takut bicara. Mereka butuh pekerjaan, Udin. Mereka percaya pada janji Tuan Riko."

Pada rapat desa terakhir menjelang Balimau Kasai, Udin memberanikan diri. Meski suaranya bergetar, ia berdiri di hadapan semua orang. "Kita tidak bisa melakukan Balimau Kasai di air kotor! Ini bukan hanya masalah mandi, tapi janji kita kepada nenek moyang kita! Balimau Kasai adalah tentang membersihkan diri dan sungai, bukan mengotorinya!"

Tuan Riko, yang juga hadir, tertawa sinis. "Ah, cuma tradisi kuno. Airnya sedikit keruh tidak akan membahayakan dan membunuh siapa pun. Lagipula, saya punya solusi. Kita bisa mengadakan Balimau Kasai di kolam renang buatan saya. Lebih bersih dan modern!"

Beberapa warga mengangguk, terpengaruh oleh ucapan Tuan Riko. Mereka tampak ragu antara menjaga tradisi dan mendengarkann ucapan tuan Riko. Udin merasa hatinya teriris-iris. Kata-kata Tuan Riko tidak hanya merendahkan tradisi, tetapi juga merendahkan harkat martabat desa mereka.

Malam itu, Udin tidak bisa tidur. Bayangan sungai yang tercemar dan wajah khawatir kakek terus menghantuinya. Ia berpikir keras. Berdebat dengan Tuan Riko tidak akan berhasil. Ia butuh cara lain yang bisa menggerakkan hati orang-orang.

Keesokan paginya, ia mengumpulkan teman-temannya di tepi sungai. "Kita tidak bisa biarkan ini terjadi! Kita bersihkan sungai ini sendiri!" ajaknya.

Nila, temannya, menatapnya ragu. "Tapi, bagaimana? Sungai ini terlalu besar, sampahnya terlalu banyak."

Udin tidak menyerah. "Kita tidak bisa membersihkan semuanya, tapi kita bisa menunjukkan tekad kita. Jika kita membersihkan satu bagian, mungkin yang lain akan ikut membantu!"

Dengan tekad bulat, mereka mulai bekerja. Dengan sarung tangan seadanya, mereka memungut sampah plastik dan botol yang mengambang. Mereka menyingkirkan ranting-ranting yang tersangkut dan membersihkan lumpur di tepi sungai. Kakek datang dan ikut membantu, membawa kantong-kantong besar.

"Kerja bagus, Cucu," puji Kakek. "Inilah makna Balimau Kasai yang sesungguhnya."

Aksi Udin dan teman-temannya menarik perhatian warga. Beberapa ibu-ibu yang awalnya memilih diam, kini ikut membawa sapu lidi dan karung. Para pemuda yang tadinya hanya menonton, kini ikut menceburkan diri, membantu membersihkan bagian sungai yang lebih dalam. Semangat gotong royong menyebar seperti percikan api.

Rupanya, Tuan Riko melihat semua itu. Ia datang ke tepi sungai, wajahnya memerah. "Apa-apaan ini? Kalian membuang-buang waktu!" kata tuan Riko

Kakek berdiri tegak, memandang Tuan Riko dengan tatapan tajam. "Tuan Riko, ini bukan buang-buang waktu. Kami sedang menunjukkan bahwa Balimau Kasai tidak bisa diganti. Nilai-nilai di dalamnya jauh lebih berharga daripada semua uang yang Tuan tawarkan."

Tuan Riko terdiam. Ia melihat semangat gotong royong yang tidak pernah ia temui di kota. Ia melihat kebersamaan yang tak bisa dibeli. Ia menatap wajah-wajah tulus warga desa yang bekerja keras demi tradisi mereka.

Malam harinya, setelah sungai terlihat lebih baik, Tuan Riko menemui Kakek dan berkata "Saya salah, kakek. Saya tidak mengerti. Saya akan menghentikan pembuangan limbah ke sungai. Dan saya akan membangun sistem pengolahan limbah yang lebih baik agar air tidak tercemar lagi."

Hari Balimau Kasai akhirnya tiba. Sungai kembali mengalir dengan lebih jernih. Aroma wangi dari bunga dan dedaunan yang dibawa warga memenuhi udara. Udin menceburkan diri, merasakan air sungai tidak hanya membersihkan tubuhnya, tetapi juga hatinya dari rasa cemas dan kekhawatiran.

Balimau Kasai tahun itu menjadi yang paling berkesan. Tradisi itu tidak hanya terlaksana, tetapi juga menjadi bukti bahwa kearifan lokal bisa menjadi kekuatan untuk melawan segala tantangan modern. Dan Udin, anak kecil yang berani, telah membuktikan bahwa satu keberanian bisa menggerakkan seluruh desa.

 

Best Practise Pengaruh suhu,waktu dan pH KOMBUCHA

Menganalisis pengaruh suhu, pH serta waktu fermentasi pada pembuatan minuman KOMBUCHA   melalui analisis data menggunakan Artificial Intelli...